Hariantangsel.com | Nasional - Aturan soal pembatasan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite akan segera rampung dalam waktu dekat. Pembatasan bisa menghemat subsidi hingga 60 persen.

Aturan tersebut terdapat dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang ditargetkan selesai tahun ini. Revisi tersebut akan mengatur siapa saja yang boleh membeli Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) atau pertalite.

“Targetnya tahun ini harus jalan, dalam beberapa bulan ini selesai karena sudah seta­hun drafnya. Nanti akan ada kategori kendaraan mana yang boleh pakai solar dan yang boleh pakai pertalite,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Jumat (8/3/2024).

Dia berharap, nantinya revisi beleid itu akan bisa memper­baiki target, serta realisasi pe­nyaluran subsidi BBM kepada masyarakat.

Arifin mengatakan, Pemerin­tah akan tetap memastikan subi­sidi BBM dapat disalurkan tepat sasaran. Khususnya untuk moda transportasi yang strategis bagi kebutuhan dasar masyarakat.

Seperti diketahui, usulan re­visi Perpres yang mengatur tata niaga BBM itu sudah diajukan sejak pertengahan 2022. Na­mun sampai saat ini, Kemen­terian ESDM belum mendapat persetujuan izin prakarsa dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).

Sebelumnya, Anggota Komite BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas) Abdul Halim mengatakan, ada be­berapa skenario yang diusulkan untuk penggunaan pertalite.

Untuk mobil, ada dua usulan yang diajukan. Pertama, melarang semua kendaraan pelat hitam mengkonsumsi pertalite. Kedua, hanya mobil di bawah 1.400 cc yang boleh “minum” pertalite.

Sedangkan untuk motor, hanya kapasitas di bawah 150 cc yang nantinya masih boleh mengkonsumssi Pertalite,” ujar Abdul Halim.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menga­takan, pembatasan penggunaan pertalite agar lebih tepat sasaran dan hemat anggaran subsidi.

“Jika pelaksanaannya sesuai mekanisme, penghematannya bisa mencapai 60 persen,” kata Fahmy kepada Redaksi, Selasa (12/3/2024).

Namun begitu, dia meminta Pemerintah mengantisipasi ke­naikan harga BBM non-subsidi jenis pertamax. Jadi, pengguna yang tidak lagi boleh meng­konsumsi pertalite tidak terlalu terbebani oleh tingginya harga pertamax.

“Dengan begitu, dampak in­flasi juga tidak terlalu tinggi karena kita sedang menge­jar pertumbuhan ekonomi un­tuk menuju Indonesia maju di 2045,” ujar Fahmy.

Untuk jangka panjang, lanjut dia, Pemerintah juga disarankan memangkas disparitas harga BBM bersubsidi dengan non-subsidi. Hal itu dapat dilakukan ketika pembatasan penggunaan pertalite sudah berjalan.

“Pemerintah harus mendekatkan harga antara pertalite dan pertamax. Contoh selisihnya Rp 1.500, sehingga konsumen pertalite, bahkan sepeda motor bisa migrasi ke pertamax,” tutup Fahmy.